Sumber Hukum yang Tidak Disepakati


Istihsan,Istishab,Maslahah al mursalah,Urf,Saddudz dzarî’ah,Syar’u man Qablana,Qaul Sahabi
A.    Istihsan
Pengertian istihsan menurut bahasa adalah mengembalikan sesuatu kepada yang baik, menurut istilah Ushul yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari qias jalli (jelas) kepada qias khafi (tersembunyi), atau dari hukum kulli kepadahukum istinai’[4].
Menurut Wahbah Az Zuhaili terdiri dari dua definisi:
a.       Memakai qias khafi dan meninggalkan qias jalli karna ada petunjuk untuk itu disebut istihsan qiasi
b.      Hukum pengecualian dari kaidah kaidah yang berlaku umum karna ad petunjuk untuk hal tersebut. Disebut istihsan Istinai’[5]
Dasar Istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis rosullah SAW antara lain :
a). Dasarnya dalam Al Qur’an:
Dasar diperboleh kanya Istihsan menurut ulama’ Mazhab hanafi, Maliki, dan Mazhab Hanbali sebaigai berikut
c.       الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُوْلَئِكَ هُمْ أُوْلُوا الْأَلْبَ
Artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.Az-Zumar: 18)[6]
Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran Karena ia adalah yang paling baik.


d.      وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “Dan berjihadlah engkau di jalan Allah (dalam agama)dengan jihad yang sebenar-banarnya.dia telah memilih engkau dan Dia sama sekali tidak menjadikankesempitan bagimudalam agama”. (QS:Al-Hajj: 78)
Dan hadits  nabi yang berbunyi:
Anas r.a berkata “Rosul1lah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya;dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya”. (HR Ibnu Bar)  [7]

Sedang menurut pendiri Mazhab Syafii yaitu Imam Muhammad Ibn Idris al Syafi’i tidak menerima Istihsan sebagai landasan hukum, menurutnya siapa yang menetapkan hukum dengan berland2askan Istihsan sama dengan membuat syaria at baru alasnya antaralain dalam al quran surah al an ‘am ayat 38:
Artiny:. Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan (al an’am/38)
Ayat di atas menurut imam Syafii menegaskan kesempurnaan al qur’an untukmenjawab  segala sesuatu, dan juga disebutkan dalam dalam al quranbahwa ada  sunnah sunnah rasulullah untuk menjelaskan dan memerinci hukum2 yang terkandung dalam alqur’an.
Menurut wahbah az Zuhaili menyebutkan bahwa adanya perbedaan tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan Istihsan, Imam Syafii membantah istihsan dengan menggunakan hawa nafsu tanpa menggunakan dalil syara’, sedang istihsan yang dipakai oleh penganutnya bukan berdasarkan hawa nafsu tetapi mentarjih (menganggap kuat)salah satu dua dalil yang bertentangan.[8]
Contoh Istihsan antaralain: pembatalan hukuman potong tangan bagi pencuri di zaman umar, makan disiang hari bulan romadhon karna lupa, aqad jual beli yg belum ada wujudnya/ pesanan lemari dll.
B.     Istishab
Kata Istshab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus
menerus”. Menurut Ibnu al Qayyim al Jawziyah: menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yg memang tiada sampai ada bukti yg mengubah kedudukannya.[9]
Macam macam Istishab
1.      Istishab al ibahah al ashliyah
Istishab yang disdasrkan atas hukum ashal dari sesuatu yang mubah, suatu makanan/tindakan akan dianggap selalu halal/boleh dilakukan/ dimakan menurut hukum aslinya selama tidak ada dalil yg melarang.
2.      Istishab al bara ah al ashliyah
Istishab yg di dasarkan atas prinsip bahwa padadasarnya  setiap orang bebas dari tuntutan hukum taklifi., seseorang akan dianggap bebasdari kesalahan/ hutang selama adabelum ada bukti yang mengubahnaya
3.      Istishab al hukm
Didasrkan atas tetapnya status hukum yg sudah ada selama tidak adabukti yang mengubahnya contoh seseorang yang jelas menikah /aqad nikah dengan seorang wanita maka si wanita tetap dianggap sebagaiseorang istri sebelum ada yang mengubanya/ cerai
4.      Istishab al wasf
Yg didasarka atas anggapan masih tetapnya sifat yng diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yg mengubahnya, air yang di anggap bersih tetap dinggap bersi sebelum ada yang mengubahnya.[10]
Manurut ulama’ ushul fiqih sspakat tentang tiga macam istishabyg telah dikemukan, tetapi mereka berbeda pendapat pada istishab yang ke empat/istishab al wasf,kalangan Syafiiah dan Hanabilah sepakat mengunakan secar penuh sedangkan Malikiyah dan Hanafiyah bahwa Istishab al wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya bukan untukmenimbulkan hak yang baru.
C.    Maslahah al Murslah
Menurut abdul wahab khalaf; sesuatu yang dianggap maslahah namun tidak ada ketegasn hukum untuk merealisasikanya dan tidak pula ada dalil yang mendukung maupun yang menolaknya,sehingga ia dikatakn Maslahah al mursalah ( maslahah yang lepasdari dalil secara khusus).[11]
Untuk memperjelas Maslahah al mursalah, menurut abdul karim zaidan menjelaskan macam2 maslahah:
1.      Al Maslahah al Mu’tabarah yaitu maslahah yang secara tegas di akui secara syariat dan telah ditetapkan ketentuan2 hukum untuk merealisasikannya misal perintah berjihad untuk memelihara agamadll
2.      Al maslahah al mulgah yaitu;sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karna bertentangan denagan syariat misal ada anggapan bahwa menyamkan pembagian warisan antara lakidan perempuan di anggap maslahah tetapi ini bertentangan dengan nash al quran surah annisa ayat 11
3.      Al maslahah al mursalah, ini lah yag dimaksud dalam bahasan maslahah yg definisinya seperti di terangkan dia atas, misal peraturan lalu lintas yg tidak ada dalil baik al qur an maupun hadis namun peraturan terseut sesuai dengan tujuan syariat yaitu memelihara jiwa dan harta.[12]

Para ulama’ belum sepenuhnya sepakat bahwa maslahah al mursalah dapat dijadikan sumberhukum islam artinanya maslahah al mursalah termasuk sumber hukum Islam yg masih di pertentangkan, golongan mazhab Syafii dan Hanafy tidak menganggap maslahah al mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dan memasukkannya dalam katagori  bab Qiyas, jika dalam suatu maslahah tidak didapatkannya nash yg bisa dijadikannya acuan dalam Qiyas maka maslahah tersebut di anggap batal/ tidak diterima. Sedang Imam malik dan Imam Hanbaly mengatakan bahwa maslahah dapat diterima dan dapat dijadikan sumber hukum apabila memenuhi syarat.[13]

Adapun syaratnya yaitu:
1.      Adanya persesuian antara maslahah yg dipandang sebagai sumber dalil yg berdiri sendiri dengan tujuan tujuan syariat ( maqashid as syari’ah).
2.      Maslahah harus masuk akal ( rationable).
3.      Penggunan dalil maslahah adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi ( raf’u haraj lazim), seperti firman Allah surah al hajj ayat 78, yg artinya  “dan Dia tidak sekali kali menjdikan untuk kamu suatu kesempitan.”( lihat al I’tisham oleh As Syatibi juz 3, hal 307)[14]
Golongan Maliky sebagai pembawa bendera Maslah al mursalah mengemukan tiga alasan sebagai berikut
1.      Praktek para sahabat yg menggunakan Maslahah  mursalah diantaranya, pengumpulan al quran kedalan beberapa mushhaf, padahal ini tidak pernah di lakukan oleh Nabi, alasan yang mendorong para sahabt ialah semata Maslahah. Seperti kebijakan sahabat Umar yg memerintahkan untuk memisahkan  antara harta kekayaan pribadi dengan harta yg diperoleh  dari kekuasaan.dll.
2.      Adanya maslahah sesuai dengan maqashid syari’ah artinya menggunakan maslahah sama dengan merealisasikan maqashid.
3.      Seandainya maslahah tidak di ambil dalam kasus yg memerlukam maslahah maka orang2 mukallaf akan mengalami kesempitan  dan kesulitan, firman Allah,.. “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Qs.al baqarah; 185).[15]
D.    URF ( Adat istiadat)
Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima akal sehat”. Sedang secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu “ sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karna telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun perkataan.[16]
‘Urf merupakan satu sumber hukum yang di ambil dari mazhab Maliki dan hanafy, yang berada di luar lingkup nash, dan tergolong dalam satu sumber hukum (asl) dari ushul fiqih yg di ambil dari Intisari hadis Nabi
 yang artianya:.. “apa yang dipandang baik kaum muslimin, makamenurut Allah pun di golongkansebagai perkara yang baik
Oleh karna itu UlamaMazhab Maliky dan Hanafy bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan urf yang shahih sama dengan yang ditetapkan berdasarkandalil syari’iy.[17]
Adapun pembagian ‘Urf dibagi menjadi dua macam
1.      ‘Urf yang Fasid ( rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu ‘Urf yang bertentangan dengan Nash Qath’i
2.      ‘Urf yang shahih( baik/Benar), suatu kebiasaan  baik yang tidak bertentangan dengan syariat.[18]
Syarat 2 ‘urf agar dapat dijadikan landasan hukum, menurut Abdul Karim Zaidan:
1.      ‘urf itu termasuk ‘Urf yang Shahih
2.      ‘Urf harus bersifat Umum, artinya telah menjadi kebiasaan umum
3.      ‘Urf itu harus sudah ada ketika ketika terjadinya suatu peristiwayg akan dilandaskan pada urf tersebut,misal seseorang yg mewkafkan  hasil kebunya kepada ulama’,sedangkan definisi ulama pada waktu ituhanyalah orang yang punya pengetahuan agama tanpa ada persyaratan Ijazah, maka kata ulama dalam pernyataan wakaf harus diartikan dengan pengertian yg populer pada waktu itu.
4.      Tidak ada ketegasan dari pihak2terkait yang berlainan dengan pihak ‘Urf tersebut[19]



E.     Saddudz dzarî’ah
Menurut bahasa saddu berarti menutup dan dzara’I kata jama’ dari dzari’ah berarti “Wasilah atau  jalan”. Jadi artinya menutup jalan. Sedang menurut istilah ialah “menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan”[20]
Yang dimaksud dengan saddu al-dzari’ah ialah
Artinya “mencegah/menyumbat sesuatu ygang menjadi kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan”.
Maksudnya ialah menyumbat segala sesuatu yang akam menjadi jalan menuju kerusakan.Oleh karena itu, apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah/disumbat agar tidak terjadi kerusakan
Pada dasranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1)   Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali sumur di belakang pintu rumahdijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh kedalamnya.
2)   Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuat khamar. Ini halal karena membuat khamar adalah nadir (jarang terjadi)
3)   Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini, dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib mengambil ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat mungkin, sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati ilmu yakin. Contohnya menjual senjata diwaktu perang/fitnah, menjual anggur untuk dibuat khamar, hukumnya haram.
4)   Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan. Mengenai bagian keempat initerjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan haram[21]
F.  Syar’u man Qablana
Yang dimaksud denganSyar’u man qablana ialah syariat atau ajaran ajaran nabi-nabi sebelum Islamyg berhubungan dengan hukum,seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, apakah syariat syariat yg di turunkan kepada mereka itu berlaku pula bagi ummat Nabi Muhammad SAW. Masalah inimerupakan topik tersendiri dalam pembahhasan ushul fiqh.
Pengelompokan Syaru’ man qablana
1.      Syariat terdahulu yang terdapat dalam al quran atau penjelasan Nabi tentang syariat umat terdahulu, misal firman Allah dlam surah Al an’am, 146



                            
 Artinya; kami haramkan atas orang-orang yahudi setiap binatang yang mempunyai kuku;dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya.

 Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang yahudi dahulu, kemudian dijelskan dalam al qur’an bahwa sanya aturan ini tidak berlaku pada umat nabi Muhammad yg dijelaskan dalam surah al an’am 145




Artinya; katakanlah aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi.
2.      Hukum yg dijelaskan didalam alqur an dan hadis, berlaku bagi umat sebelumnya dan berlaku pada umat Nabi Muhammad, misal kewajiban puasa al baqarah ayat183.[22]
3.      Hukum 2 dalam al quran dan hadis yang menjelaskan hukum syariat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, dan juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh [23]
Kehujjahan Syaru’ man qablana;
1.      Jumhur Ulama’ hanafiyah, Hanabilah dan sebagian Syafiiyah, dan malikiyah dan ulama’ kalam Asy’ariyah dan mu’tazilah berpendapat bahwa Syaru’ man qablana bentuk ketiga  tidak berlaku pada umat Nabi Muhammad, alasannyabahwa syariat Umat terdahulu bersifat khusus, berbeda dengan Syariat Nabi Muhammad yang bersifat umum dan menasakh.
2.      Sebagian kalangan Abu Hanafiayah, sebagian Malikiyah Sebagian Syafiiyah dan Imam Ahmad, berpendapat bahwa hukum2yang termuat  Muhammad, selama tidak ada penjelasan tentang Nasakh nya maka berlaku pula untuk ummat Nabi Muhammad, dari sini muncul kaidah[24]


Syariat untuk ummat sebelum kita berlaku untuk syariat kita.
Alasan yang mereka kemukakan adalah bebera petunjuk dari al qur,an;
a.       Surah as Syura ayat 13



Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yg telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan isya yaitu; ‘ tegakkanlah Agama dan jangan kamuberpecah belah tentangnya.


b.      Surah an Nahl ayat 123


Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yg lurus.
F.     Qaul Shahabi
Qaul Shahabi atau sering disebut dengan mazhab shahabifatwa shahabi  definisi singkatnya adalah  fatwa sahabat secara perorangan , rumusan sederhana ini mengandung tiga pilar
1.      Mengandung keterangan, penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui Ijtihad.
2.      Yang menyampaikan  fatwa itu ialah seorang sahabat nabi
3.      Penggunaan kata perseorangan yang merupakan perbedaan secara jelas  antara  qaul shahabi dan ijma’ shahabi. [25]
Kehujjahan qaul shahabi:
1.      Pendapat kalangan ulama’ yg terdiri dari ulama’ kalam Asy’ariyah dan Muktazilah, Imam Syafii dalam suatu qaulnya, Ahmad dalan satu riwayatnya dan al karakhi ulama’ dari mazhab malikiyah, mereka berpendapat bahwa pendapat para sahabatyang berasal dari ijtihadnya sendiri tidaklah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya. Alasannya ialah  yang pertama; firman Allah dalam surah Annisa ayat 59;


Artinya; Jika kamu berselisih pendapat kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.
Yang kedua; Ijma’ sahabat tentang kebolehan beda pendapat dikalangan sahabat, jika pendapat sahabt menjadi hujjah tentu seorang sahabat wajib mengikuti yg lain dan ini adalah mustahil. [26]
2.      Pendapat ulama dari Malik Ibn anas, ar razi, al barzai’ , al syafii dalam qaul qadim nya dan ahmad dalam satu riwayat, mengatakan pendapat sahabat menjadi hujjah secara muthlaq dengan alasan sebai berikut;
a.       Firman Allah dalam surah al Imran ayat 110;


Artinya; kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia, menyuruh berbuat ma’ruf.
b.       Sabda Nabi;


Artinya; sahabatku adalah laksana bintang gemintang siapa pun yg kamu ikuti kamu akan mendapat petunjuk.[27]
Contoh pendapat Sahabat yang dijadikan sebagai dasar hukum antara lain:
1.    Pendapat Aisyah: Batas maksimal waktu kehamilan seorang wanita adalah 2 tahun.
2.    Pendapat Umar bin Khottob: Lelaki yang menikahi wanita yang masih dalam kondisi ‘iddah maka ia harus dipisahkan dan diharamkan menikahi kembali wanita tersebut selama-lamanya.
3.    Pendapat Anas bin Malik: Batas minimal waktu haidl seorang wanita adalah 3 hari.